Perjalanan Pagimu Jakarta
Jangan
berharap menikmati pagi yang indah di Jakarta. Bukan udara segar yang akan kau
hirup, tapi polusi yang menyiksa hidung juga paru-parumu. Bukan kesunyian pagi
yang tentram, tapi nyanyian klakson kendaraan juga cacian penuh maki. Coba saja
kau keluar dan nikmati perjalanan pagimu, mungkin banyak cerita yang akan kau
tambahkan.Sejuta cerita menikmati jalan di ibukota. Sejuta cara pula menyiasati
padatnya kendaraan. Tak adakah solusi berarti wahai para penyelenggara?
Perempatan
jalan tanpa polisi. Lampu merah yang tak lagi berfungsi. Angkot, mobil, motor
yang saling adu gengsi tapi tak peduli sangsi. Kereta yang enggan berhenti. Jam
di tangan yang sudah menunjuk angka hati-hati. Dikejar waktu kerja yang sama.
Keluar rumah di waktu yang sama. Melewati jalan yang sama. Lalu ramai-ramai
orang mencari solusi. Beli motor dan mobil untuk dimiliki pribadi.
Tak
bosan rasanya membahas ibukota tercinta, khususnya buruknya manajemen
transportasi yang terjadi. Fenomena hijrahnya pengguna kendaraan umum beralih
ke kendaraan pribadi perlu diperhatikan serius. Tanda bahwa sudah tak ada rasa
nyaman dan aman menggunakan angkutan umum Jakarta.
Alasan-alasan
klise nan tak berujung adalah kemacetan, cerita-cerita berantai tentang copet,
jambret, dan hipnotis. Lalu yang terbaru karena mahalnya naik angkot akibat
harga BBM yang terus naik. Tak segeranya pemerintah menangani fenomena ini,
juga orang-orang yang langsung memanfaatkan harga miring kendaraan membuat
masyarakat mencari jalan cepat. Siapapun rasanya sekarang bisa kredit motor.
Bahkan tak harus menunggu kaya melintir untuk mempunyai mobil.
Para
Gubernur Jakarta sudah mencari inovasi kendaraan modern untuk ibukota. Dari
mulai Trans Jakarta, commuter line, sampai monorail yang gagal dibangun
berlanjut ke pembangunan subway sudah dilakukan. Kami memang menikmatinya, tapi
untuk sesaat. Godaan memiliki mobil pribadi penuh gengsi sudah bercokol di
kepala para pekerja setengah sosialita. Tak segeranya tindakan pemerintah juga
cepatnya tercipta budaya modern tidak bisa menghentikan tren ini.
Anak
SMP saja sudah minta dibelikan kado mobil pada orang tuanya. Juga banyaknya
para single driver lainnya. Hampir
setengah pengendara pribadi di Jakarta mengendarai mobilnya sendiri, three in one pun semakin tak ada
gunanya. Padahal jika mereka mau meninggalkan kendaraan pribadi di rumah dan
mulai menggunakan angkutan massal, setidaknya bisa mengurangi kemacetan sampai
dua kilometer.
Mobil
tua bercat merah juga biru. Bus tua bercat oranye juga hijau. Apa yang salah
dengan mereka? Tak ada yang salah dengan kendaraan hampir usang peninggalan
turun temurun penuh modifikasi itu. Rasanya tak salah menyalahkan sumber daya
manusia diatasnya. Seenaknya mengenakan tarif dan juga asal-asalan berkendara.
Sebenarnya
saya sangat penasaran dengan manajemen perangkotan sendiri. Khususnya tarif-tarif
yang disetorkan di tiap terminal. Bukankah sudah ditentukan oleh dishub trayek angkot juga pemberentian terakhir
mereka? Untuk satu angkot saja hampir ada tiga titik mereka harus menyetorkan
sejumlah uang. Bisa dibayangkan berapa kali ia melewati tiga titik itu dalam
sehari. Bisa dibayangkan pula berapa ratus angkot yang lewat setiap harinya dan
penghasilan yang didapatkan olehnya dari angkot-angkot itu.
Kasus
ini bisa disambungkan kearah masih merebaknya premanisme di Ibukota. Para
penguasa-penguasa tak bertanggung jawab yang mencari untung saja. Padahal tak
ada dalilnya mereka bisa seenaknya seperti itu.
Dikejar
setoran juga naiknya harga BBM membuat para supir angkot ikut menaikkan tarif.
Lalu siksaan yang terjadi selanjutnya adalah para pengguna angkutan massal.
Dibanding biaya angkot perharinya dengan
bensin motor tentu saja masyarakat memilih menggunakan motor. Apalagi yang
tempat tinggalnya jauh di pinggir Jakarta yang harus beberapa kali menaiki
angkot.
Berkaca
pada luar negeri para orang kaya, manager, bahkan artis tak malu naik kereta
dan bus. Mudahnya juga rasa aman dan nyaman membuat mereka tidak segan menggunakan
angkutan massal. Waktu kedatangan subway dan bus yang sudah terjadwal, mencari
rute yang sudah ditentukan adalah salah satu yang mereka tawarkan. Walaupun
jarak stasiun cukup jauh, cukup ditempuh dengan jalan kaki saja sudah cukup.
Di
Indonesia baru keluar rumah saja sudah dilayani angkot kecil berjuluk KWK. Dari
penataan kota untuk hunian juga daerah perkotaan sepertinya sudah jauh
ketinggalan. Banyak aspek yang harus diperbaiki.
Ada
ratusan nomor angkot di Ibukota. Dari mulai trayek terdekat sampai terjauh.
Melewati jalan besar sampai jalan tikus sekalipun. Yang berjumlah empat enam
sampai lima delapan. Dari yang bisa duduk sampai hanya bergelantungan di pintu.
Beragam hal yang dilakukan angkot dan bus jakarta.
Hal
termiris adalah supir-supir yang mengemudi tanpa tau aturan. Seperti tak
menyadari membawa nyawa manusia, lalu memaki-maki bila tak sesuai harganya. Sifat
mereka yang seperti itu bisa disadari karena tekanan memperoleh uang secara
cepat.
Jika
permasalahannya adalah memperbarui angkutan massal seperti TransJakarta,
Commuter Line, dan juga dalam waktu dekat subway. Maka tak ada salahnya
mempercayai pemerintah dan menunggu hasilnya. Tapi dengan kasus angkot yang
seenaknya juga preman-preman berembel-embel keamanan harus ditindak secara
serius.
Bagaimana
jika angkot disamakan dengan kereta dan TJ, yaitu membayar dengan e-money. Biar
saja para supir angkot digaji oleh pemerintah tiap bulannya. Sehingga tidak ada
lagi asal-asalan menentukan tarif dan dikejar-kejar setoran. Karena sepertinya
beredarnya agkot tidak dapat dihentikan begitu saja dan menjadi angkutan
tradisional tersendiri di Jakarta.
Dengan
begini biaya bisa ditarif ditargetkan jauh dekatnya. Juga bisa membuka lapangan
pekerjaan lebih banyak seperti yang dilakukan TransJakarta. Teknisnya dapat
dilakukan observasi dan penelitian lebih lanjut. Juga untuk para supir perlu
diadakannya pelatihan agar mereka mulai menyadari dan memperbaiki sikapnya di
jalan.
Perlu
inovasi juga peraturan tegas agar para pengguna kendaraan pribadi segera hijrah
dan tak memikirkan gengsi untuk menggunakan angkutan umum. Pertumbuhan kendaran
yang pesat tidak berimbang dengan tersedianya jalan. Jalan sudah tidak bisa
diperbesar berarti pengurangan kendaraan umum harus ditindak secara tegas.
Rasa
ingin berubah yang belum ada di seluruh masyarakat Jakarta bisa menjadi
penghambat nantinya. Lagi-lagi karena gengsi para setengah sosialita ini.
Bergesernya nilai-nilai dan pengaruh budaya asing menjadi salah satu
penyebabnya.
Seandainya
tidak ada rasa perubahan berarti perlu diadakannya peraturan tegas seperti yang
dilakukan Singapura. Pemerintah tidak perlu takut demi terciptanya keteraturan
transportasi di Jakarta. Segalanya perlu ditindak serius dan tegas juga
diberikan pengertian-pengertian agar masyarakat juga dengan sukarela mengikuti.
Sudah
banyak pula isu-isu lingkungan tentang polusi yang ada di Jakarta. Biasakan
menggunakan sepeda bisa juga menjadi alternatif aksi lingkunga dan mengurangi
macet. Kampanye-kampanye lain adalah saling memberikan tumpangan di kendaraan
pribadinya. Aksi-aksi unilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan. Karena dengan
ini berarti ada rasa ingin berubah bersama.
Budaya
awalnya tercipta untuk menjawab dan menyelesaikan suatu permasalahan. Lalu
kebiasaan itu mulai dilakukan secara massal. Jika membuat peraturan tegas dan
dilakukan bersama walau dirasa cukup berat pada awalnya bisa menyelesaikan
suatu permasalahan. Maka jangan bilang tidak mungkin jika budaya baru bisa
terbentuk diantara masyarakat dan bisa menjadi jawaban atas segala permasalahan
kemacetan dan kepadatan jalan di Ibukota.
Komentar
Posting Komentar