Jangan Pergi Rangga...
3, 2, 1 !!!!
Teeeeet!!
“Selamat tahun baru!!!!”
“Hahahahaha”
Suara terompet dan petasan yang
begitu memekakan berlomba-lomba memeriahkan detik pergantian tahun 2015. Napas
yang begitu kuat meniupkan terompet seakan melepas semua kenangan di tahun lalu
dan siap menyongsong tahun baru. Tawa yang teriring bersamaan menandakan
kebahagiaan yang akan menuntun di tahun ini. Langit walaupun sempat suram
seakan memberikan kesempatan untuk petasan dan kembang api menampakan
keelokannya.
Aku hanya tersenyum sambil
merebahkan badan di ujung genteng rumahku, menikmati indahnya bunga-bunga api
dan pengangnya kota jakarta saat tahun baru. Pikiranku terus melayang-layang,
ke masa lalu dan ke masa depan. Apa kesalahanku dan apa pencapaianku.
“Woi!! Nona pemimpi!! Tahun baru
nih... nanti lagi mimpinya, seneng-seneng dulu kita.” Teriak seseorang
dibawahku.
“Apa... gua juga lagi
seneng-seneng nih liatin petasan. Berisik ah! Sana bakar lagi jagung, sisain
gue ya.” Balasku sedikit berteriak tanpa ingin menengok suara siapa.
“Aneh.” Gumamnya yang sebenarnya
terdengar jelas olehku. Rangga. Dia
tetanggaku, temanku, sahabatku, juga saudaraku. Entahlah, banyak waktu yang
kami habiskan bersama.
“Oi.” Suaranya terdengar lagi,
kali ini diiringi suara gesekan dan debuman kecil. Lalu sekejap dia sudah ikut
berbaring di sampingku. Menyodorkan jagung bakar panas.
“Makasih.”
“Kenapa sih sendirian mulu,
nikmatin kali tahun baru bareng keluarga, kapan lagi?” kata Rangga sambil
mengunyah jagungnya.
“Hei, itu pernyataan dan
pertanyaan buat elu kali ngga. Tuh mumpung ibu sama ayah libur. Kenapa elo
malah nemenin gue. Nyokap bokap gue mah hadir selalu di rumah, jadi santai aja.
Mereka juga ngerti kok gue gimana.”
“Biarin, mereka libur seminggu
kok, jadi gue gak bakal numpang makan di rumah lo.” Katanya sambil terus
mengunyah jagung, lalu melanjutkan. “tapi hidup kan gak ada yang tahu la, lo
bisa aja bilang orang tua lo selalu hadir di rumah. Emang lo bisa jamin itu?
Hidup ada yang ngatur, noh yang diatas.” Jelas Rangga menunjuk langit yang satu
dua masih dipenuhi petasan dan kembang api.
Aku sedikit tercekat
mendengarnya, tapi entahlah.
“Tahun baru tuh harusnya bikin
resolusi, bikin tujuan. Inget-inget
pernah ngelakuin kesalahan apa aja, prestasi apa, yang jelek dibuang,
yang bagus dipertahankan. Jangan merenuuung mulu, ngayal muluuu.” Cerocos
Rangga.
“Rangga, lo tuh bawel banget sih!
Selera makan gue ilang nih, lagian dari tadi gue juga mikirin itu kali.”
Balasku sewot.
“Tuh kan, tahun baru udah ngambek.”
Kali ini rangga sudah menghabiskan jagungnya, lalu menatapku. Tangannya
terulur, jari-jarinya menyentuh wajahku lalu memaksakan agar bibirku memberikan
seulas senyum. Setelah itu ia mengambil jagung bakar yang baru aku gigit
sebagian. “Gue laper, lagian siapa bilang ni jagung buat elo. Tadi itu gue
nitip.”
Ya sudahlah biarkan Rangga dengan
Jagungnya. Sekarang aku ingin mengingat cerita tentang tahun yang baru saja
berlalu itu.
2014. Tahun yang sudah memberikan
begitu banyak cerita dan cinta yang tak terlupakan. Dimana hari-harinya aku
masih mencari diriku sendiri yang sebenarnya sampai sekarang terus kucari.
Dimana minggu-minggunya kadang begitu cepat berlalu atau bahkan terlalu lambat.
Dimana bulan-bulannya begitu mengesankan sampai rasanya tidak ingin
kutinggalkan. Lalu bulan-bulan itu begitu cepat berlalu. Umur tanda kedewasaan
dan yang orang bilang sweet itupun sudah terlewat. Perubahan besar dalam
kehidupanku pun terjadi di tahun 2013. Dimana dulunya aku diatur dengan
peraturan yang sedemikian rupa menjadi bebas.
2015. Walaupun beberapa bulan aku
sudah merasakan bagaimana meninggalkan bangku SMA, tapi rasanya itu belum cukup
terwakilkan kelanjutan hidupku. Dunianya sudah beda. Walaupun aku belum tahu,
aku coba meraba-raba bagaimana aku nanti. Tujuanku sudah jelas, tapi belum ada
progress-nya. Ah sudahlah, aku mulai pusing.
“Mau jualan jagung bakar.” Jawab
Rangga asal. Terserah dia sajalah mau ngapain. Asal jangan ninggalin gue aja
sendirian.
“Gak bakalan kok shila, tenang
aja. Paling nanti lo gue suruh bantuin jualan.” Katanya santai. Ups, aku tidak
sadar telah menyuarakan pikiranku.
“Sorry, gue cuma punya elo
soalnya.” Kataku asal.
Rangga tersedak lalu batuk-batuk.
Tiba-tiba tertawa geli. geli sekali sampai menggeleng-gelengkan kepalanya. ah
baru mau aku ledekin. Dia selalu saja.
“Shila, gue gak selamanya ada
tau. Life must change, gue bisa aja
pergi tiba-tiba. Atau mungkin elo yang tiba-tiba pergi, tapi life must go on. Hidup harus tetep berjalan.”
Kata Rangga lalu bangun dari posisi tidur dan duduk di sampingku sambil
menatapku lekat-lekat. Membelai rambutku pelan.Kali ini wajahnya serius.
Aku hanya menekuk-nekuk wajahku.
Menunjukan keberatan tapi mengiyakan dalam hati. Apa yang dikatakannya selalu
benar. Entahlah jika memang terjadi, orang terdekatku pergi. Apa yang bisa
kuperbuat. 2015. Tahun yang belum tahu akan menjadikan ku apa.
“Bulan depan bokap resmi ngurusin
saham yang di Surabaya. Dan nyokap bilang gak mau lagi bolak balik jakarta
surabaya untuk sekedar nengok gue. Artinya gue juga ikut ke Surabaya.”
***
Berita
pertama di awal tahun ku begitu mengejutkan. Aku sudah bertanya apa itu
satu-satunya jalan dia harus pindah. Tapi dia yang memilih, dia ingin tumbuh
besar bersama orang tuanya. Bukannya dia ingin meninggalkan jakarta dan seluruh
kehidupannya. Justru baginya hidup di jakarta adalah pengalaman terbesarnya.
Dan
benar saja, hari itu pun tiba. Tiga minggu setelah ayah dan ibu Rangga ke
Jakarta sekarang mereka kembali lagi. Hari ini tetangga dan teman-teman sekolah
ku datangke rumah Rangga, perpisahan terakhir. Aku hanya terdiam. Air mata
mungkin sudah habis, sudah kering. Semua sudah disalami. Teman-teman sudah
pulang. Tinggal saudara dan kerabat. Aku masih belum bertemu Rangga. Lebih
tepatnya aku menghindarinya. Tiga jam sebelum landing. Sebentar lagi keluarga
itu akan meninggalkan jakarta, meninggalkan kami, meninggalkan aku.
“Shila,
cantik, maaf..” kata Rangga lembut, suara itupun begitu ringkih. Siap
meninggalkan tapi belum siap merelakan.
Air
matakupun menetes tanpa diminta. Isak pelan tertahanku pun sudah terdengar
sekarang. Seperti biasa aku naik ke genting rumah belakang. Rangga pun sudah
tau dimana bisa menemukanku. Ia pun memelukku dalam diam. Aku hanya berlutut
menyembunyikan wajah sambil menahan isak, ingin sekali membalas pelukannya tapi
rasa malu menahanku.
Rangga
membelai rambutku lalu mengangkat wajahku pelan, memberikan celah untuk dia
benar-benar memelukku. Tergambar jelas sekarang, rasa kehilangan, penyesalan
dan ketidakrelaannya. Aku bisa mersakan itu, dia merasakan apa yang kurasakan.
“Jangan
pergi, Rangga...” kataku pilu.
“Jangan
menangis, shila...” sahutnya tak kalah menyesakkan.
Perpisahan
yang menyakitkan tapi juga begitu indah. Dimana kami bisa jujur saling
mengungkapkan emosi. Aku tahu rasa ini sudah tumbuh berbeda diantara kami.
Bukan sekedar teman, sahabat atau saudara. Rasa lain yang tumbuh di hati kami.
“Gue
sayang sama lo shila...”
“Gue
juga...” jawabku diantara tangis.
Komentar
Posting Komentar