Hanya Sebatas Itu
Hujan di siang terik yang tiba-tiba datang itu dengan
tiba-tiba berhenti pula. Matahari yang tadi sempat bersembunyi kini mulai
muncul lagi menampakkan keganasannya. Jalanan kota yang penuh pedagang yang
tadi sempat panik kini mulai mengeluarkan dagangannya lagi. Orang-orang yang
“mengungsi” di halte dari hujan dadakan
itu akhirnya tersenyum lega.
Gadis itu tidak ingin beranjak sedikit pun dari kursi halte
yang sudah hampir karatan. Ia pandangi orang-orang yang meninggalkan halte satu
persatu, berharap orang itu tidak ikut pergi. Ia pandangi mobil di jalan raya
yang berlalu lalang sambil sesekali melirik cowok yang berdiri acuh itu.
Lama-lama halte yang tadi ramai kini mulai sepi,hanya tinggal dua orang anak
SMA. Jess hampir mau loncat dan teriak ketika tau bahwa tinggal mereka berdua
yang tersisa. Jess berpura-pura tidak tahu dan tetap duduk berpangku tangan.
“Jess? Gak pulang? Itu angkot jurusan kamu udah ada dari
tadi.”
Jess spontan mengangkat kepala, tapi belum berani menengok
ke arah datangnya suara. Ia takut imajinasinya tidak seperti kenyataan.
Bruk .
“Jess?? Kok jatuh? Gak
kenapa-kenapa kan? “ tanya Jono yang tidak tahu muncul dari mana.
Jess terjerembap di lantai halte, matanya mengawasi cowok
yang dengan cuek membuka bungkus permen lollipop dan meninggalkan halte begitu
saja.
“iyyuuh kok pergi sih?”tanya jess pada dirinya sendiri .
“heh.. gue disini kok gak pergi jess”
Jess menengok galak ke pemuda yang terus mengoceh itu,
“Apaan sih lo? Tau gak lo tuh ganggu momen penting gue iiih...” sembur Jess .
“wah, iya? Maaf kalo gitu deh.. gua pulang duluan ya udah
sore nih, byeee”. Jawab Jono sambil menyetop angkot jurusan mereka berdua.
Watados
banget sih tuh orang,udah gue jatoh, dia nya pergi lagi ugh !
“eeeh... Jono tunggu bareng deh!!!” teriak jess pada jono
sambil berlari. “daripada gue nunggu angkot lagi” lanjut jess pada dirinya
sendiri
***
Ketika itu hujan tak memberi ampun pada penduduk bumi, tidak ada celah sedikit pun untuk menembus
hujan yang seperti murka. Jess mengutuk dirinya sendiri, kenapa tadi ia tidak
pulang saja bersama Jono dengan motor
vespa bututnya. Yah walaupun malu sedikit tapi setidaknya ia tidak akan
terjebak hujan seperti ini kan? Jess menyandarkan punggungnya pada triplek
reyot warung kopi yang sudah tutup dan
menselonjorkan kakinya. Jess melihat sekeliling, di jalan ini hanya ada satu
warung itupun sudah tutup.
Jess bergidik ketika membayangkan harus sampai malam ia
menunggu di warung itu sendirian. Gak banget pikirnya. Hujan tidak menunjukan
tanda-tanda akan berhenti, Jess makin merengut. Apa ia sebaiknya nekat saja ya
menembus hujan? Toh ia bukan orang yang gampang sakit. Belum sempat Jess melangkahkan kaki untuk berlari, ia mendengar
desingan motor mendekat. Jess berharap itu abangnya yang baru pulang kerja
lewat.
Bukan, motor itu bukan motor abangnya. Motor itu juga bukan
hanya satu tapi tiga. Jess tadinya ingin mengacuhkan motor itu sampai ia
melihat orang yang mengendarainya seperti preman dan berhenti tepat di warung
itu.
“Bos, dapet mangsa nih bos ujan-ujan. Hahaha.” Kata salah
seorang itu setelah turun dari motornya.
“Neng ujan-ujanan sendirian? Mending ikut abang aja.” Kata
salah seorang lainnya.
Tanpa pikir panjang Jess langsung berlari menembus hujan
deras. Ia berlari sekencang dan sekuat yang ia bisa. Kenapa sih jalanan ini
sepi banget? Pikir Jess.
“Woy! Gak bisa lari lo!” teriak orang tadi dan langsung
mengandarai motornya bersama yang lain.
Jess berlari makin kuat sampai tiba-tiba ada motor yang
mendahuluinya.
“Jess! Naik motor gue! Cepetan!” teriak pemuda yang
mengendarai motor tersebut.
Jess terdiam saking paniknya, ia bingung. Pemuda itu sampai
menarik tangan Jess. Mereka langsung menembus hujan sore itu. Motor ninja hitam
milik Vian melaju dengan kecepatan tinggi untunglah tidak banyak kendaraan di
sore berhujan itu, sekalipun ada Vian dengan lihai menyalip kendaraan-kendaraan
tersebut. Sekarang tidak terlihat lagi tiga motor preman yang tadi sempat
mengikuti laju motor Vian.
Motor vian sudah berhenti di tepi jalan, hujan pun sudah tak
sederas tadi. Jess masih merangkul pinggang Vian diatas motornya. Jess gemetar,
giginya bergemeletukan. Ia takut, pertama karena preman-preman tadi, kedua
karena laju motor Vian yang tidak tahu aturan. Menyerobot apa saja yang ada.
Vian melepaskan pegangan Jess pada pinggangnya. Jess masih enggan turun, ia
gemetaran dan hanya menunduk.
“Jess? Rumah kamu dimana? Biar gue anter sekalian aja deh”
kata Vian akhirnya yang tadi sempat tega berpikiran ingin meninggalkan Jess di
tengah Jalan.
“Dd..darr..iiss..ssii..nn..ii..”
“Stop gue inget rumah lu kok” kata Vian langsung mulai
menjalankan motornya.
Jess langsung merangkul kembali pinggang Vian. Vian tak bisa menolak dengan keadaan jess yang seperti
itu.
“Makasih Vian,” kata Jess setelah sampai di depan rumahnya
dan setelah Jess bisa menguasai diri. Belum sempat Jess meneruskan
kata-katanya, Vian sudah melesat menembus gerimis di senja itu.
***
“Kiri bang!
Gue duluan Jess.” Kata Tira membuyarkan lamunan Jess.
Jess
mendongakkan kepala dan membalasnya dengan anggukan singkat. Jess melamunkan
Vian, kejadian itu sudah dua bulan yang lalu tapi bagi Jess rasanya baru
kemarin. Vian bagaikan pangeran berkudanya yang datang disaat diperlukan. Jess
benar-benar tergila-gila pada Vian, tapi Vian tetap tak menganggapnya apa-apa.
Walaupun begitu itu tak membuat Jess berhenti mengejar Vian. Jess tak hanya
menjalankan aksinya sampai situ ia akan terus mendekati Vian sampai ia berhasil.
Di sisi
lain padahal ada Jono, anak alim kocak yang selalu ada buat Jess walaupun Jess
tidak pernah menyadarinya. Jess menganggap Jono selalu ada buat dia ya karena
memang seharusnya begitu sebagai teman dekat Jess.
Jess
melemaskan bahu, menatap sendu punggung Vian yang sudah berlalu dengan
ninjanya.
“Maklum mau
ngojek jadi buru-buru deh dia pulangnya” kata Jono yang entah dari mana selalu
muncul tiba-tiba.
“Enak aja!
Keren amat ngojek pake ninja!” Jess sewot yang
hanya dibalas tawa oleh Jono.
“gak capek
tuh ngejar-ngejar tapi gak ada kemajuan apa-apa?” tanya Jono polos.
Jess
menghitung-hitung, perasaan baru dua bulan deh dia flirting ke Vian. Sudah dua
bulan juga dia secara terang-terangan kalau dia suka berat sama Vian. Vian, Jess
mencari memori apa yang sudah Vian lakukan. Tidak ada. Vian belum memberi tanda
apa-apa. Mungkin karena Vian memang cowok dingin pikir Jess membela diri. Ah
pokoknya gak mau jawab aja deh.
“gak”
“yakin?”
“yakin.”
“emang ada
apanya sih si Vian tuh?” tannya Jono lagi.
“gak ada
apa-apanya”
“terus?”
“jonoooooooooo
udah ah” kata Jess akhirnya.
“kenapa sih
orang tuh selalu liat yang jauh-jauh melulu, padahal ada yang deket. Selalu ada
buat dia, dimanapun kapanpun. Ikhlas
lagi. Tapi, mana pernah diperhatiin sih? Malah dibilang pengganggu. Niatnya kan
Cuma perhatian doang. Ah udahlah lagian semua itu kan karena udah temenan dari
dulu, temen lama, temen masa kecil. Temen masa kecil kan memang akan jadi teman
selamanya. Sahabat selamanya tanpa pamrih, karena kasih sayang.” Kata Jono
ngelantur, yang lebih bisa dibilang bicara pada dirinya sendiri.
Jess
terdiam, tercekat atas kata-kata Jono. Jono sudah berlalu dibelokan, tapi Jess
masih diam terpaku. Jono. Ya dia memang sahabat kecilnya dari SD selalu satu
sekolah walaupun terkadang beda kelas. Tapi Jono selalu ada. Saat berangkat
sekolah, pulang sekolah. Bahkan saat Jess sakit. Jess hanya tinggal berdua
dengan abangnya di kontrakan kecil, kalau abangnya sibuk kerja abangnya pasti
minta bantuan Jono menjaga Jess. Hanya sebatas itu. Jess menganggap Jono hanya
sebatas itu. Siapa dirinya?
Vian adalah
cowok dingin dengan motor ninjanya. Yang tidak mau merhatikan sekitar, walau
Jess belum tau asal-usul nya tapi sekarang ia tahu. Vian hanya cowok angkuh
yang terkadang mungkin baik hati mau menolong Jess yang hampir dicelakai
preman. Siapa pula yang tega melihat teman satu sekolah hampir mengalami
musibah seperti itu? Hanya sebatas itu. Ya hanya sebatas itu Vian mengenal dan
menolong Jess. Gadis malang kehujanan yang hampir dicelakai preman. Hanya
sebatas itu.
Jess
tersenyum, iya juga ya? Jono. Kenapa ia tidak pernah menyadarinya? Jono,
walaupun namanya Jawa banget dan terkesan kampungan. Tapi tidak sekampungan
otak dan keluarganya yang termasuk pengusaha sukses. Keluarganya sangat ramah,
khas orang jawa. Jess baru menyadari Jono sudah jauh di depan dan ia tertinggal
di belakang.
Jess
sumringah, ingin cepat-cepat mengejar Jono dan menggodanya.
BRAKKK
Suara yang
jelas-jelas adalah tabrakan itu terdengar begitu dekat. Jess segera berlari dan
berbelok. Tapi begitu lemasnya dia ketika ia melihat Jono. Lututnya yang sudah
tak sanggup lagi menopang diri, ia paksakan berlari. Motor yang sepertinya adalah
penabrak sudah melaju entah kemana.
“Jonoooo!!”
teriak jess sambil berlari.
Jono tak
menjawab apa-apa. Sesampainya jess di hadapan jono, jess langsung memangku jono
di kakinya. Air matanya sudah tak tertahankan. Jono memang mengalami beberapa
lebam. Tapi darah nya tidak ada yang terlalu mengucur.
“jono aduh
lu gak kenapa-napa kan? Bangun dong Jon. Jangan tinggalin gue. Masa lu tega
sih? Ih mana ni jalan sepi banget sih! Jono banguuuun”.
“ iya iya
gue bangun jess” kata Jono pada akhirnya lemas. Tapi juga menahan senyum.
Jess
terdiam, mengusap air matanya. “lu gak kenapa-kenapa kan jon?”
“ gak
kenapa-kenapa gimana? Jelas-jelas diserempet motor ya sakitlah” jawab jono
sekenanya sambil meringis melihat luka di badannya.
“ lu bikin
gue khawatir aja ih, gak harus ke rumah sakit kan? Gue obatin di rumah lu ya.
Masih kuat jalan kan? Ayo gue papah.” Kata Jess panjang lebar.
Jono
tersenyum sendiri melihat tingkat Jess. “ haha Jess, segitu paniknya. Gue gak
kenapa-kenapa kok, masih bisa jalan. Lu takut ya kehilangan gue.” Kata Jono
mulai berdiri dibantu jess.
“iya”
“sama gue
juga gak mau kehilangan lu Jess”
Mereka
berdua tersenyum masing-masing. Entah bagaimana nantinya, yang jelas bukan
hanya sebatas itu.
Komentar
Posting Komentar