Menunggu Kota yang Tertata


Bermalam. Beberapa orang memilih bermalam di bawah atap yang nyaman dan tidur di kasur yang empuk. Tapi beberapa orang tanpa pilihan terpaksa tidur di bawah langit suram ibukota dan beralaskan dinginnya tanah. Beberapa memilih tempat pulang yang nyaman saat hujan, terik, dan kelelahan akibat bekerja. Tapi beberapa orang tidak bisa pulang, tidak ada tempat pulang, dan tidak ada pilihan untuk pulang. Sandang, pangan, papan. Sandang pas-pasan, pangan dipaksakan, dan hidup tanpa papan. Itulah sebagian kehidupan jakarta, ibukota suatu negara besar. Kehidupan yang berbanding terbalik dengan sebutan namanya, kota metropolitan.

Ruang tinggal adalah suatu lahan untuk didirikannya suatu bangunan untuk manusia tinggal dan berteduh. Dalam tata kota, ruang tinggal seharusnya sudah ditentukan dari awal pembangunan suatu kota. Ruang tinggal yang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari pusat kota. Tapi inilah problematika Jakarta sekarang. Ruang kosong yang ada dipaksakan menjadi ruang tinggal. Mengaku memiliki tanah turun temurun, hak milik tanah pun sudah tidak dapat mempengaruhi upaya pemerintah.
Di jakarta, ruang tinggal bertebaran dengan berbagai pilihan. Perkampungan semi komplek, gang-gang senggol, komplek perumahan mewah, rumah-rumah pinggir jalan, rusun-rusun, dan berbagai jenis apartemen. 

Lalu pilihan untuk tinggal pun berbagai macam, kos, mengontrak, menyewa, membangun rumah, dan membeli rumah. Jelas uang adalah syarat utama memilih tempat tinggal. Sisanya, jika tidak ada belas kasihan hanya bisa menerima nasib tinggal beralaskan tanah dan beratapkan bintang-bintang.
Proses untuk bisa tinggal di Jakarta pun sepertinya telah dialami banyak orang. Berawal dari hanya mencari pekerjaan, lalu bekerja, ia harus memiliki tempat tinggal untuk beristirahat. Lalu pekerjaan semakin menjanjikan, akhirnya memilih berumah tangga di Jakarta. Keadaan memaksa harus memiliki rumah tinggal permanen di Jakarta. Rentetan ini bukan dialami oleh satu orang saja, tapi ribuan orang yang tinggal di Jakarta. Juga bukan dialami sekarang saja, tapi dari bertahun-tahun lalu, saat ibukota menjanjikan pekerjaan yang layak bagi para pendatang.

Jika kita melihat tata kota jakarta, tentu sangat tidak teratur. Perumahan gang senggol banyak berada di ibukota. Pertokoan banyak menyatu dengan rumah. Pusat perbelanjaan ada dimana-dimana sesuai dengan kebutuhan konsumen. Hidup di Jakarta memang mudah, dekat darimana-mana. Inilah yang sekarang dialami, tanpa mengindahkan letak tata kota yang baik. Perusahaan swasta memanfaatkan lahan demi lahan untuk dijadikan tempat perbelanjaan. Tidak lagi keindahan ruang dan tat letak yang baik di Ibukota.

Pusat kota dulu sudah dirancang sedemikian rupa berada di jantung kota. Selain jakarta pusat masih berkembang pertokoan dan dan tempat tinggal. Tapi siapa menduga bahwa perkembangan di jakarta secepat ini. Pusat kota kini tersebar di ibukota. Lahan tinggal mulai tergusur dengan pembangunan-pembangunan. Tapi yang masih kuat bertahan tetap tinggal ditempatnya masing-masing. Jadilah tidak seimbangnya pembangunan di Jakarta. Banyak kita temui gedung-gedung tinggi menyembunyikan gang-gang sempit dibelakangnya.

Jika kita berkaca pada tata kota luar negeri, mereka telah merencanakan kotanya sejak dulu. Para pakar pembangunan dan ekonomi telah meramalkan akan terjadi pembangunan besar-besaran nantinya. Mereka sudah merencanakan dimana seharusnya menempatkan pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, tempat pariwisata, tempat ibadah juga yang paling penting tempat tinggal. Dalam pembangunan mereka juga memperhatikan asas kebutuhan dan manfaat dari suatu bangunan. Jadi tidak ada pembangunan yang tidak berarti. Inilah yang diaplikasikan oleh kebanyakan negara maju di Eropa dan berbagai negara bagian di Amerika. Tapi jika kita negara berkembang lain, permasalahan yang terjadi masih sama seperti di Jakarta.

Untuk tempat tinggal perumahan, bisa kita lihat di negara bagian di Amerika sudah tertata dengan rapi. Mereka menempatkan perumahan tidak jauh dari sekolah dan rumah sakit. Lalu tiap kota kecil memiliki pusat pertokoannya sendiri. Walaupun berada diluar jauh dari pusat kota metropolitan. Kota kecil di negara bagian sudah terpenuhi kebutuhannya. Bagaimana dengan tempat tinggal di pusat kota seperti New York? Di New York, orang-orang yang kebanyakan merupakan pendatang tinggal di apartemen-apartemen. Hampir tidak bisa kita temui perumahan disana, yang paling dekat adalah di New Jersey. Jika mereka ingin memiliki rumah tinggal mereka terpaksa membeli rumah disana yang tidak terlalu jauh dari New York.

Sebenarnya apa yang terjadi di Jakarta sekarang adalah belum adanya perencanaan tata kota yang baik sebelumnya. Khususnya ruang tinggal di ibukota. Jakarta yang akhirnya menjadi tempat urbanisasi paling digemari memiliki kebutuhan ruang tinggal yang tinggi. Ketika kebutuhan sudah mencapai batas, pemerintah baru  merencanakan pembangunan-pembangunan bagi warga. Masalah terbesar adalah warga menengah kebawah, yang tinggal dengan bangunan semi-permanen di lahan milik pemerintah. Drama penggusuran berkali-kali terjadi di Jakarta. Niat membangun Ibukota lagi-lagi terhambat oleh sebagian Jakarta.

Sebagian Jakarta yang lain memilih meninggalkan Ibukota. Tinggal di pinggir kota tapi tetap bekerja di pusat kota. Bukan hanya permasalahan lahan tinggal, tapi juga ketersediaan jalan yang mulai berkurang. Mulai banyaknya yang tinggal di pinggir kota, mulai banyak pula yang memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai angkutan sehari-hari. Menumpuknya kendaraan di jalanan semakin menambah permasalahan tata kota yang kurang dinamis.

Apa yang seharusnya dibutuhkan Jakarta sekarang ini? Kami tentunya masih menunggu pemimpin visioner yang akan membangun ibukota. Jika benar ingin membuat ibukota menjadi kota metropolitan, penggusuran lahan harus dilakukan dengan tegas dan memberikan solusi. Sehingga tidak ada lagi drama penggusuran lahan yang berasaskan belas kasihan. Rusun-rusun yang telah dibangun diatur dengan peraturan yang tegas dan tepat sasaran. Mereka tetap butuh tinggal di ibukota, pekerjaan yang ada di jakarta tidak semuanya bergelar bos. Keseimbangan tetap dibutuhkan di kota ini.

Selain menunggu pemimpin yang benar-benar tegas. Warga jakarta juga harus memikirkan nasibnya bersama. Jangan mendiskreditkan golongan sendiri. Banyak yang akhirnya saling menyalahkan dan meninggalkan persatuan sebagai warga Jakarta. Orang kecil bilang pembangunan hanya untuk orang kaya, tidak ada manfaatnya bagi mereka. Orang yang menganggap dirinya lebih diatas akan menganggap orang kecil hanya memenuhi Ibukota dan membuat sumpek.

Sanggupkah akhirnya jika Jakarta benar-benar mau membangun kembali kotanya? Sanggup-sanggup saja jika telah dipersiapkan dengan matang dan terencana. Dalam pembangunannya nanti bukan hanya pemerintah yang harus siap, tapi juga warga Jakarta yang siap dan mau dengan adanya perubahan. Perubahan yang terjadi nanti demi kelancaran hidup kedepan yang lebih baik. Ruang tinggal tak lagi menjadi masalah klasik kehidupan di Jakarta. Pada akhirnya semua harus ada aturannya dan yang memilih tinggal di Jakarta mempunyai kewajiban mengikuti dan menjaga aturan yang berlaku. Jakarta yang aman dan nyaman tidak lagi menjadi angan-angan tapi menjadi sebuah kenyataan yang dilakukan bersama.


Komentar

Postingan Populer